Kisah Anak Penjual Gorengan Jadi Calon Dokter

Menjadi dokter adalah mimpi sebagian anak muda. Sayangnya, kebanyakan mimpi itu kandas karena biaya kuliah di Fakultas Kedokteran yang dikenal sangat tinggi. Tetapi, menjadi dokter bukan hanya hak untuk mereka yang berpunya. Hal semacam itu ingin dibuktikan oleh Dyah Utami Nugraheni, 19 th. asal Nyamplung Kidul, Balecatur, Sleman, Yogyakarta.


Dyah tercatat sebagai salah satu mahasiswi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Kampus Gadjah Mada. Dia diterima di fakultas favorit itu dengan beasiswa Bidik Misi.

 " Waktu dikabari kakak bila diterima di FK UGM saya segera berpelukan dengan ibu, suka dan haru campur aduk jadi satu. Tidak nyangka dapat diterima di jurusan favorit kebanyakan pelajar dengan persaingannya cukup ketat, " kata Dyah, diambil dari laman ugm. ac. id, Rabu, 22 Juni 2016.

Dyah hanya gadis yang berasal dari keluarga sederhana. Dapat duduk di bangku kuliah saja mungkin seperti mimpi, apalagi menimba ilmu di FK UGM.

Bukan Dyah namanya bila menyerah dengan keadaan itu. Semangatnya untuk belajar begitu tinggi dan keadaan ekonomi keluarganya justru menjadi cambuk penyemangat gadis berhijab itu untuk lebih giat belajar.

Sejak Sekolah Basic (SD), Dyah selalu menjadi juara kelas. Prestasi itu bertahan di jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA). Di tahap ini, Dyah tidak pernah lepas dari posisi tiga besar.

 " Tidak ada strategi khusus, hanya belajar secara teratur saja disertai doa, " ucap alumnus SMA 1 Yogyakarta ini.

Menjadi dokter adalah cita-cita Dyah sejak lama. Keinginan itu muncul melihat lingkungan rumahnya yang begitu sulit menemukan dokter. Waktu lulus nanti, Dyah mengaku ingin mengabdikan diri membantu masyarakat dengan jadi dokter.


Harapannya nantinya dapat membantu dan menolong saudara dan tetangga sekitar, " ucap dia.
Ibunya, Ngatinem, 58 th., bekerja serabutan di sela aktivitas menjual gorengan. Gorengan itu sering dititipkan ke tetangga untuk dijual di kantin sekolah. Ayah Dyah sudah meninggal pada 2007 dan praktis membuat ibunya sebagai tulang punggung keluarga.

Dalam sebulan, mereka mendapat penghasilan tidak lebih dari Rp500. 000. Dengan uang sebesar itu, praktis Ngatinem tidak dapat membiayai kuliah Dyah.

 " Tidak tentu kerjanya, bila ada tetangga yang minta tolong, baru kerja. Bila tidak ada ya dirumah saja sambil buat gorengan untuk di jual ke kantin, " kata Ngatinem.

Beruntung, Ngatinem punya dua anak tiri yang selalu membantunya. Walau bukan anak kandung, ke-2 anak tirinya begitu ikhlas membantu meringankan beban Ngatinem dalam memenuhi kebutuhan hidup dan membesarkan Dyah.

Walau demikian, Ngatinem selalu mendukung anaknya untuk menempuh pendidikan yang lebih tinggi. Dukungan itu ternyata juga diberikan oleh ke-2 anak tirinya pada Dyah.

 " Saya tetap mendukung anak untuk dapat mengenyam pendidikan setinggi-tingginya. Alhamdulillah, kakak-kakaknya turut mensupport, " kata dia.

Adalah suatu kebanggaan untuk Ngatinem anaknya dapat diterima kuliah di jurusan yang begitu diidamkan. Hanya doa dan semangat yang dapat dia berikan supaya Dyah mencapai keberhasilan kelak.

Sumber : ugm. ac. id
Kisah Anak Penjual Gorengan Jadi Calon Dokter Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Zahra