Sopir mobil barang di UD (usaha dagang) punya ayah baru ganti sebulan ini. Ayah memang berniat memberitahu orang rumah apabila ada orang baru di " UD'-nya. Bukan apa-ap a, sebab barang dagangan terkadang transit dirumah dulu untuk dicek sebelum dibawa ke gudang.
Saya, kakak atau ibu bergantian mengecek barang apabila tidak repot. Dulu pernah kejadian ada orang mengaku sopir baru, pada akhirnya melarikan mobil ayah. Sejak itu, ayah mewajibkan orang rumah tahu semua karyawan ayah.
Waktu berjalan, genap sebulan sopir baru ayah bekerja. Masih muda, santun tidak banyak bicara. Hampir setiap saat ayah memujinya. Yang baiklah, yang pinterlah yang serba bisalah, heran saya dibuatnya. Pada anak-anak sendiri, hampir ayah tidak pernah memuji.
Apakah benar pujian itu? Diam-diam kuamati sopir muda itu. Datang lebih cepat atau lepas Zhuhur itu jadwal kerjanya. Kata ayah, hal semacam itu sudah diizinkannya. Setiap masuk gerbang, tidak pernah lupa mengucap salam. Apabila tidak ada ayah, ia sekalipun tidak mau masuk rumah, pilih menunggu di depan pintu walau sudah ibu persilakan. Apabila bicara dengan ibu ia lebih hanyak menunduk, sedikit senyum namun nada bicaranya tetap terdengar ramah dan santun. O... pantas saja ayah suka kepadanya.
Yang lebih mengherankan, sekarang bila keluar kota untuk urusan pribadi sekalipun, ayah sering mengajaknya. Padahal selama ini, ayah biasa nyopir sendiri. Bila ayah tidak sempat mengantar ibu belanja, ayah juga mempercayakan hal semacam itu kepadanya. Ada lagi yang berubah pada ayah, kaset keroncong dan langgam jawa sudah tidak lagi terdengar dirumah atau di tape mobil. Gantinya?! Kaset muratal dan ceramah-ceramah agama. Entah mengapa saya tidak pernah tapi bertanya walau saya penasaran. Nonton TV paling waktu berita, padahal ayah penggemar sinetron. Nama artis-artis juga ayah hafal.
Sore itu, saya pulang dari kantor tempatku bekerja. Tidak ada yang aneh dengan ayah dan ibu, karena seperti biasa mereka berdua selalu duduk di teras menunggu saya dan kakakku pulang. Namun kulihat senyum mereka tidak seperti biasanya. Benar saja, usai makan malam, ayah membuka pembicaraan yang tidak pernah kuduga sebelumnya. ''Berapa usia kamu saat ini? ' Ah, ayah pakai tanya umurku. " Hampir 26 th.. Kenapa yah? " " Belum ingin menikah? Keburu jadi perawan tua lho nanti... "
Makanan jadi sulit kutelan. Sejak kapan ayah ingin anaknya cepat-cepat kawin? Buktinya 2 kakak
perempuanku menikah saat umur mereka kepala 3. Jadi masih kuingat kata ayah, usia
kepala 3 baru matang dan siap menikah. Kok sekarang berubah?! Jujur saya dan kakak-kakakku tumbuh dalam pendidikan sekuler dan menikah di umur berapa juga tidak pernah jadi masalah. Karier di mata keluarga kami begitu utama.
Namun, sekarang ayah tiba-tiba bicara pernikahan juga agama. Dan satu hal yang baru kusadari sekarang, tentang ibuku... Ibuku adalah wanita modern tulen. Salon, berdandan dan semua trendsetter fashion tidak pernah ketinggalan diikutinya. Sekarang? Mana kutek di kukunya? Mana kuku panjangnya? Mana make up-nya? Tidak terlihat sekalipun. Namun diam-diam kupuji dalam hati, wajah ibu terlihat lebih 'ringan' dan fresh tanpa make-up.
" Kau ingin nanti ayah carikan. Atau barang kali kamu sudah miliki calon sendiri? " Makanan semakin merasa sulit kutelan. Pacar? Saya memang pernah naksir beberapa pria, namun tidak pernah sampai pacaran.
" Siapa calon Fa, yah? " Mas Dodi tiba-tiba menyela.
" Sopir ayah... " ucap ayah tanpa dosa.
Mas Dodi tertawa. Saya terperanjat berdiri, 1/2 melotot, tidak percaya.
" Tuh... Pak, apa saya bilang. Ayah ngga' percaya sih. Belum-belum Fa saja sudah melotot, bagaimana mau nerima?! " Ternyata mas Dodi sudah mengetahui rencana ayah.
Kutinggalkan meja makan dengan rasa hancur dan terhina. Masa' ayah tega menikahkanku dengan sopir? Apa kata dunia?! Calon S2 kok hanya dapat sopir...?! Saya menangis di kamar, memikirkan semua mimpi buruk itu. Ibu dan ayah menyusul ke kamar. Menjelaskan semuanya juga masalah siapa " mimpi burukku " itu. Saya jadi malu juga 1/2 tidak percaya pada cerita ayah. Saya diberi kesempatan untuk berpikir sepekan. Hanya sepekan. Kata ayah untuk kebaikan semua dan sebelum kesempatan itu hilang. " Shalat Istikharah, Fa. Agar kamu yakin! " pesan ibu.
Tidak sampai sepekan, tepatnya 3 hari sebelum batas waktu, saya memberi jawaban " ya " pada ayah, tanpa keraguan sedikit juga. Ayah memelukku, ibu juga menangis. Kulirik mas Dodi mukanya memerah. Sopir ayah memang bukan sopir biasa. Ia lulusan sarjana teknik dan tengah menyelesaikan gelar pasca sarjananya, saat itu atas beasiswa. Kerja sebagai sopir ditempat ayah untuk menutup biaya hidup selama kuliah, juga untuk biaya keluarganya. Ia memang yatim. Praktis sebagai satu-satunya lelaki dirumah, ia menggantikan peranan kepala rumah tangga. Hal semacam itu baru kutahu waktu akan menikah.
Sepekan lalu, saya menikah dengan sopir ayah. Dua minggu usai menikah, saya dibawa suami terbang ke negeri Sakura. Suami melakukan kontrak kerja disana. Saat ini kami telah dikarunia tiga buah hati. Dua lahir di negeri seberang, seorang di Indonesia. Beberapa bln. lagi kontrak suami akan habis, apabila tidak diperpanjang dan tidak ada aral melintang, insya Allah kami akan kembali ke tanah air.
Semoga tulisan ini bisa membuka pintu hati kita yang sudah lama terkunci
Sumber : JEJAKAH. CO. ID